Kain Songket dari Aceh

Kain Songket Aceh | Adatnusantara - Songket merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia. Walaupun songket merupakan tradisi tenun tradisional masyarakat Melayu dan Minangkabau yang tidak hanya ada di Indonesia, namun juga terdapat di beberapa negara berbangsa Melayu pada umumnya seperti Malaysia dan Brunai, namun kain songket Indonesia telah menjadi warisan kebudayaan leluhur dengan ciri khas tersendiri.

Demikian pula dengan Kain Songket Aceh yang menjadi kebanggaan masyarakat Nangroe Aceh Darussalam. Kain songket Aceh atau Tenun Ikat Tradisional Aceh adalah kerajinan tangan yang dilakukan secara tradisional dan turun menurun dengan menggunakan alat tenun tradisional berupa alat-alat yang terbuat dari kayu dengan menggunakan benang emas.

Hasil Tentun berupa kain songket Aceh digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan pakaian adat Aceh, hiasan meja, hiasan dinding, hantaran pernikahan dan tentu saja bisa dijadikan cinderamata khas Aceh.

Kain Songket Aceh

Masa Kejayaan Songket Aceh


Keberadaan Songket Aceh pada saat ini tidak terlepas dari peran serta masyarakat Aceh yang telah mewariskan tradisi menenun terutama pembuatan Songket Aceh dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Hal itu dilakukan pula oleh seorang bernama Maryamun Ali atau Nyak Mu yang telah wafat pada usia 73 tahun, tepatnya pada tahun 2009. Rumoh Teupeuen (Rumah Tenun) milik Nyak Mu, perajin sekaligus pelestari songket Aceh legendaris ini berada di Gampong (Kampung) Siem di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. Rumah inilah yang menjadi saksi masa kejayaan Songket Aceh.

Semasa hidupnya Keseharian Maryamun memang tak pernah jauh dari selembar kain. Dari tangan perempuan tua itu telah terjaga sebuah tradisi Aceh. Melewati empat periode peperangan, yang disusul bencana tsunami, perempuan itu telah menjaga dan mewariskan sebuah tradisi penciptaan tenun songket Aceh kepada generasi yang lebih muda.

Sejak mendirikan usaha tenun songket Aceh pada tahun 1973, Maryamun atau biasa dipanggil Nyak Mu—nyak adalah panggilan di Aceh untuk perempuan tua—telah menjadi guru bagi ratusan perempuan Aceh yang datang dari Aceh Timur, Lamno, Aceh Besar, serta Banda Aceh. Mereka berguru ke Nyak Mu di Desa Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, dan setelah mahir membuka usaha sendiri di desa asalnya.

Nyak Mu tak hanya fasih meniru motif tradisional, tetapi juga mahir menciptakan motif baru. Puluhan motif baru telah diciptakannya, di antaranya pintu Aceh dan bungong kertah. Motif-motif tradisional dan ciptaan Nyak Mu itu kemudian dibukukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh tahun 1992.

Di era 1980-an hingga awal 1990-an, karya Nyak Mu dijual dan dipamerkan di Jakarta, Bali, hingga Sri Lanka, Singapura, dan Malaysia. Di sejumlah tempat itu, Nyak Mu ikut berpameran atau mendemonstrasikan keahliannya membuat songket Aceh. Atas usahanya, pada tahun 1991, Nyak Mu mendapat penghargaan upakarti.

Nyak Mu mengajarkan motif tradisional Aceh melalui selembar kain pusaka, warisan neneknya, almarhumah Naimah atau biasa dipanggil Nyak Naim. Selembar kain berwarna coklat tanah berukuran 50 x 50 cm dan sudah robek ujungnya itu berisi motif-motif tradisional Aceh yang rata-rata diadopsi dari bunga-bunga dan kaligrafi Arab. Sedikitnya, 25 motif tradisional Aceh ditenun dengan indah di selembar kain sutra yang telah berusia lebih dari 200 tahun itu.

"Dulu tak ada buku. Nenek mewariskan kain ini sebagai pengganti buku. Pesannya, kain ini harus terus diwariskan untuk anak cucu agar tenun songket Aceh tetap lestari. Sudah ada yang menawar jutaan untuk membelinya, tetapi ini tak dijual," kenang nenek 15 cucu ini.

Di samping berisi kumpulan motif tersebut, Nyak Mu juga menyimpan kerudung Cut Nyak Dien, sebuah kerudung hitam dengan salah satu motifnya bertuliskan Lailahaillallah serta dua kain songket tua lainnya. "Ini bukan kerudung milik Cut Nyak Dien, tetapi motif ini biasa dipakai beliau sehingga diberi nama kerudung Cut Nyak Dien," jelas Nyak Mu, yang mendapat keahlian menenun dari neneknya.

Bukan hanya pewarna, dulu hampir semua bahan untuk menenun dibuat sendiri. Nyak Mu masih ingat, neneknya memiliki peternakan ulat sutra sendiri dan memintal sendiri benang sutra dari kepompong. Orang- orang membeli benang dari mereka, bahkan konon, benang sutra ini dijual hingga ke India dan Arab. "Tanpa bahan dari luar, kami dulu bisa bertahan. Sekarang, semuanya tergantung dari luar, benang kami beli dari China dan India," jelasnya.

Di mata Nyak Mu, kondisi di Aceh memang berubah seiring dengan laju zaman. Hanya satu yang tetap melekat di Aceh, yaitu perang. "Dari dulu di Aceh selalu perang. Entah kenapa. Sekarang kami dengar sudah damai, semoga tetap seperti ini, damai terus," kata Nyak Mu.

Bagi Nyak Mu, damai berarti bisa menenun kain songket dengan tenang. Masih jelas terbayang di benak Nyak Mu, hari- hari ketika konflik masih membelenggu Aceh. Acapkali, saat menenun bersama pekerjanya terjadi kontak senjata. "Semua tiarap di lantai, berdoa agar tak terkena tembakan," kenang dia.

Kampung Siem memang tak terjangkau air laut yang marah ketika tsunami melanda Aceh, tetapi showroom anaknya di Kampung Laksana diterjang air. Seluruh barang, kain, dan pewarna senilai sekitar Rp 50 juta musnah.

Musibah tak menghentikan langkahnya. Perempuan yang kenyang dengan perang itu kembali bangkit. Kini, di rumahnya, alat tenun Nyak Mu kembali berderak. Sebuah gedung tua yang lain, dengan sejumlah alat tenun bukan mesin yang menjadi saksi saat kejayaan usaha tenun songket di masa lalu, masih dirawatnya. Pada masa kejayaannya, Nyak Mu memiliki 60 karyawan tetap.

Pada saat ini, kerajinan songket Aceh diteruskan oleh Dahlia yang merupakan satu-satunya anak Nyak Mu Si Penjaga warisan Songket Aceh. Dahlia adalah satu dari lima anak Nyak Mu yang bisa membuat motif kain songket Aceh, sedangkan yang lain hanya bisa menenun.

Motif Songket Aceh


Meski tak dapat menulis dan membaca, Dahlia mengatakan, ibunya (Nyak Mu) adalah perempuan yang cerdas dan ingatannya sangat tajam. Hal ini dibuktikan dengan kreativitasnya dalam mengembangkan motif songket Aceh. Tercatat ada 50 motif songket Aceh yang pernah dibuat Nyak Mu, di antaranya motif Pucok Aron, Pucok Reubong, Mata Manok, Bu Kulah, Lidah Tiyong dan motif Laa Ila Haillallah. Dinas Perindustrian Aceh pernah membukukan karya-karyanya pada 1992 silam.

Nyak Mu ibarat lentera yang telah membuat tenun Aceh begitu termasyhur. Namun, seiring dengan padamnya lentera itu, kejayaan tenun Aceh pun seolah ikut redup. Dahlia mengakui, sejak ibunya meninggal dunia, aktivitas menenun di Siem menurun drastis. Menenun menjadi pekerjaan sampingan.

Bahkan, Rumoh Teupeuen atau Rumah Tenun yang didirikan Dinas Perindustrian Aceh di kampung itu tidak lagi aktif. Dahlia sendiri kini tidak lagi menenun secara rutin. Ia hanya menyediakan bahan baku bagi sejumlah warga yang masih menenun. Keterbatasan bahan baku, seperti sutera dan benang emas yang didatangkan dari luar memang menjadi kendala. Selain itu, Dahlia juga merasakan stamina fisiknya tidak lagi seperti dulu. Ia sempat berpikir untuk tidak lagi menggeluti dunia tenun.

Setiap motif memiliki makna berbeda-beda, tapi tidak semuanya dapat diungkapkan. Motif Pucok Reubong dan Awan Berarak misalnya, memiliki makna sebagai simbol kesuburan, kebersamaan, dan gotong royong. “Motif Pucuk Rebung ini juga terdapat di daerah lain seperti Palembang, tapi maknanya rebung sebagai salah satu tanaman yang bisa dikonsumsi,” katanya.

Adapun motif Bungong Jeumpa diambil dari keindahan bunga jeumpa (cempaka) yang menjadi flora identitas Provinsi Aceh. Bunga ini begitu tersohor dan keindahannya juga terdapat dalam syair lagu “Bungong Jeumpa”.

Ancaman Kepunahan Songket Aceh


Kain Songket Aceh mengalami ancaman kepunahan pada saat ini. Hal ini disebabkan karena regenerasi perajin songket sulit. Jarang anak muda tertarik mengenal, bahkan menjadi perajin songket. Menenun songket dikenal banyak makan waktu, sekitar 1 bulan menyelesaikan selembar kain berukuran 1,95 meter x 1,10 meter.

Penghasilan perajin songket pun dianggap tak menjanjikan. Ongkos produksi tak sebanding harga jualnya, yakni modal Rp 600.000-Rp 1 juta untuk membuat selembar kain, sedangkan harga jual Rp 1 juta-Rp 2 juta per lembar. Upah buruh pembuat songket Rp 175.000-Rp 250.000 per orang per lembar.

Namun demikian seiring dengan kemajuan teknologi, pada saat ini berbagai kain songket Aceh yang diproses dengan alat tenun mesin dengan bahan baku kain sintetis yang menjadikan harga kain songket Aceh ini lebih murah.

Harga Kain Songket Aceh


Berdasarkan penelusuran penulis pada beberapa situs jual beli seperti bukalapak.com, blanja.com dan tokopedia.com harga kain songket tradisional Aceh berkisar antara 1 juta hingga 2,5 juta rupiah. Sedangkan untuk kain songket Aceh yang ditenun dengan alat tenun mesin dibawah 1 juta.

Demikian Sobat Tradisi, sekilas mengenai kain Songket Aceh yang perlu kita ketahui dan lestarikan bersama.

Referensi :
  • Nyak Mu, Menjaga Tradisi Tenun Songket Aceh Oleh : Ahmad Arif : http://bukan-tokohindonesia.blogspot.co.id/2009/06/maryamun-nyak-mu-menjaga-tradisi-tenun.html 
  • http://sumaterapost.com/berita2/Membaca-Filosofi-Songket-Aceh-1989
  • http://travel.kompas.com/read/2016/01/22/172000027/Senja.Kala.Songket.Aceh?page=all