Sejarah Candi Kidal di Malang Lengkap dengan Arsitektur

Candi Kidal merupakan salah satu candi peninggalan kerajaan Singasari, dan diperkirakan dibangun pada tahun 1248 Masehi. Dibangun untuk menghormati Raja kedua kerajaan singasari yaitu Raja Anusapati dan juga candi tersebut sebagai tempat doa kepada Ken Dedes Ibu dari Anusapati Anusapati memerintah pada tahun 1227 Masehi hingga 1248 Masehi, hingga akhirnya Anusapati meninggal dan diduga dibunuh oleh Panji tohjaya yang ingin menguasai kerajaan singasari pada masa itu. Hal ini, juga berhubungan dengan keris Empu Gandring dan kutukanya.

Sejarah Candi Kidal

Candi Kidal juga merupakan salah satu candi peninggalan agama Hindu yang masih berdiri kokoh hingga sekarang, Selain Candi Kidal, anda juga bisa mempelajari sejarah candi-candi kerajaan Hindu lainya seperti:
Candi ini terletak 20 kilometer di sebelah timur kota Malang, tepatnya di desa Rejokidul, kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang Jawa timur. Aristektur candi Kidal juga khas candi-candi kerajaan di Jawa Timur. Candi ini pernah dipugar pada tahun 1990, guna untuk menjaga salah satu warisan nenek moyang yang bersejarah. Candi ini juga menceritakan sebuah mitologi agama Hindu, Garudeya. Dimana menceritakan mengenai pembebasan perbudakan dan dari cerita itu kita bisa mengambil pesan moral yang bisa kita jadikan pelajaran. Hingga saat ini Candi Kidal masih cukup terjaga dan terawat.

Lokasi Candi Kidal
Candi Kidal terletak 20 kilometer di sebelah timur kota malang, tepatnya di desa rejokidal, kecamatan tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa timur. Berdiri pada tahun 1248, bersama dengan tahun kedua belas setelah pemakaman Raja kedua singasari yaitu Anusapati yang telah meninggal. Candi Kidal dipugar kembali pada tahun 1990 dan akses menuju candi ini sudah diperbaiki sehingga anda bisa dengan mudah menuju candi ini.
Disekitar candi kidal masih banyak pohon-pohon rindang dan besar, dan juga terdapat taman disekitar candi yang terawat terawat dengan baik. Selain itu, disekitar candi ini juga terdapat rumah-rumah penduduk yang menghuni desa sekitar. Karena Candi Kidal terletak di pedesaan, candi ini tidak terlalu popular seperti candi Singosari, Candi Jago, ataupun candi Jawi. Dan Candi ini juga tidak terlalu banyak diulas oleh tokoh-tokoh sejarah maupun dalam catalog wisata. Karena candi ini memang tidak terlalu banyak fasilitas dari pemerintah.

Sejarah Candi Kidal Menurut Kitab

Sejarah Candi Kidal juga tidak terlepas dari kematian dan jasa-jasa Anusapati terhadap kerajaan Singasari. Hal ini juga tercantum dalam Kitab Pararaton dan juga Kitab Negarakertagama.


1. Dari Kitab NagaraKertagama
Kitab Negarakertagama merupakan kitab karya empu prapanca yang ditulis pada tahun 1365 Masehi. Dimana Kitab ini ditulis pada masa kejayaan Majapahit. Dalam Kitab negarakertagama Anusapati merupakan anak dari Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra, pendiri kerajaan Tumapel/ Singasari. Anusapati diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya pada tahun 1227. Pada masa pemerintahan Anusapati, Kerajaan Singasari diliputi dengan kemakmuran dan tenang dibawah kekuasanaya, hingga Anusapati wafat pada tahun 1248 dan digantikan putranya Wisnuwardhana. Untuk menghormati ayahnya Wisnuwardhana membuatkan Candi Kidal dimana Anusapati dipuja sebagai dewa Syiwa.

2. Dari Kitab Pararaton
Di Kitab Pararaton ditulis sekitar tahun 1481 hingga 1600, dimana dikisahkan Anusapati merupakan putra dari seorang akuwu di Tumapel yaitu Tunggul Ametung dan Ken Dedes, hingga akhirnya Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok, dimana pada saat itu Anusapati masih di dalam kandungan Ken Dedes. Kemudian Ken Arok mempersunting Ken Dedes yang telah ditinggal oleh suaminya, dan secara tidak langsung menjadi ayah angkat dari Anusapati.
ads
Ken Arok kemudian mengumumkan Tumapel menjadi kerajaan pada tahun 1222 dan bergelar Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra. Bahkan Kerajaan Tumapel berhasil menghancurkan kerajaan Kediri yang saat itu sebagai Kerjaan besar. Anusapati merasa diperlakukan tidak adil oleh Ken Arok, Kamudian Dia bertanya kepada Ibunya, hinga Anusapati mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung dari Ken Arok, dan Sebenarnya Ken Arok lah yang membunuh ayah dari Anusapati. Anusapatipun merasa marah, hingga pada akhirnya Anusapati bisa mendapatkan keris Empu Gandring yang digunakan Ken Arok untuk membunuh Ayahnya. Anusapati tidak menggunakan tanganya sendiri untuk membunuh Ken Arok, dia menyuruh pembantunya untuk membunuh Ken Arok pada acara makan malam kerajaan.

Pembantu Anusapati akhirnya bisa membunuh Ken Arok pada saat makan malam tepatnya pada tahun 1247. Untuk menghilangkan jejak bahwa pembunuhan tersebut di rencanakan oleh Anusapati, akhirnya pembantunya dibunuh sendiri oleh Anusapati dan mengumumkan bahwa pembantunya gila dan mengamuk hingga menyebabkan kematian raja.
Setelah Ken Arok meninggal, Anusapati diangkat menjadi raja pada tahun 1248 Masehi. Namun, pada masa anusapati menjadi raja, Beliau was-was dengan ancaman dari anak-anak Ken Arok yang mencurigai Anusapati lah dalang dibalik terbunuhnya Ayah mereka. Dan isatana kerajaan dijaga ketat oleh banyak pengawal untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Hingga suatu hari, salah seorang putra dari Ken Arok yang bernama Tohjaya, mengajak Anusapati untuk pergi beradu ayam. Dimana kegiatan tersebut merupakan kegemaran dari Anusapati. Tanpa menaruh curiga Anusapati menuruti ajakan dari Tohjaya. Tanpa disangka-sangka Tohjaya, menusukkan keris Empu Gandring yang dia bawa, hingga menewaskan Anusapati pada sekitar tahun 1171 Masehi. Lalu Tohjaya diangkat sebagai raja, dan pemerintahan Tohjaya tidak berlangusng lama, hingga terjadi pemberontakan Ranggawuni, yang merupakan anak dari Anusapati. Pada tahun 1172 Masehi.

3. Kesimpulan
Dari kedua kitab tersebut perjalanan Anusapati diceritakan sangat berbeda. Di Kitab negarakertagama Anusapati mati secara wajar dan damai sedangkan pada kitab Pararaton Anusapati tewas di tangan Tohjaya, yang tidak lain merupakan anak dari ayahnya yang dibunuh oleh Anusapati.
Jika kita merunut dari kedua kitab tersebut, maka kita tidak bisa benar-benar menyimpulkan bagaimana sebenarnya kematian dari Anusapati. Nama Anusapati hanya terdapat dalam kedua kitab tersebut. Namun, salah satu sumber dimana ditemukan nama Tohjaya, yaitu dalam prasasti Mula Malurung yang ditulis pada tahun 1255. Dimana pada prasasti tersebut Tohjaya merupaka raja dari kerajaan Kediri menggantikan Guningbhaya yang merupakan adiknya. Dan dari Prasasti tersebut tidak disebutkan Tohjaya membunuh Anusapati, dan jika benar-benar Tohjaya melakukan kudeta, maka yang dikudeta adalah Guningbhaya bukan Anusapatai.
Dari sini sejarah berdirinya candi Kidal dapat disimpulkan. Candi Kidal dibangun oleh Wisnuwardhana atau Ranggawuni pada tahun 1248 masehi. Dimana pembangunan candi Kidal ditujukan untuk menghormati Anusapati. Dan menjadikan Anusapati dipuja sebagai dewa Siwa.

Arsitektur Candi Kidal

Arsitektur Candi Kidal 
Candi ini memiliki keunikan tersendiri, jika dibandingkan peninggalan candi-candi lain di Indonesia. Dibuat dari batuan andesit. Dimana di sekeliling candi kidal terdapat pagar yang terdiri dari susunan batu. Candi ini memiliki tinggi sekitar 2 meter diatas kaki candi (batur). Didepan pintu candi terdapat tangga yang jika dilihat dari kejauhan seperti bukan tangga masuk karena anak tangganya dibuat pendek-pendek. Disamping pintu terdapat ukel yang menghiasi pipi candi seperti candi-candi lainnya. Sedangkan pada samping tangga terdapat tembok rendah (badug) yang menutupi sisi samping yang berbentuk siku. Badug ini hanya bisa ditemukan pada candi kidal saja.
Candi Kidal memiliki pintu yang berada di arah barat. Terdapat penampil dimana pada bingkai atasnya terdapat ukiran kalamakara. Kalamakara di Candi Kidal memiliki mata yang melotot, mulut terbuka lebar dengan taring dimulutnya. Taring ini merupakan ciri Kalamkara yang berada di candi-candi di Jawa Timur. Disamping kanan kiri penampil terdapat tangan yang mengancam. Sehingga menambah kesan seram representasi makhluk penjaga candi kidal ini. Di samping pintu di pipi candi juga terdapat ruang penampil yang biasanya digunakan untuk menaruh arca didalamnya. Dan di bingkai atas ruang penampil juga terdapat ukiran Kalamakara.


Arsitektur Candi Kidal Jawa Tengah 
Desain atap dari candi kidal memiliki bentuk persegi dengan tiga tingkat, dimana semakin kearaas semakin mengecil seperti tugu berundak. Di setiap tepi atap terdapat ukiran bunga dengan sulurnya. Sedangkan di samping bagian candi terdapat ukiran bunga-bunga dan sulurnya. Dan patung yang berbrntuk seperti singa yang mengangkat tanganya keatas seolah-olah mengangkat bagian atap candi.
Masuk keruangan candi terdapat ruangan yang tidak terlalu luas, dinding candi dihiasi dengan bunga dan juga medallion. Dibagian belakang dan samping juga terdapat lekukan yang digunakan sebagai penampil untuk menaruh arca. Namun saat ini anda tidak akan menemukan arca-arca tersebut. Karena sekarang hilang entah kemana. Ada yang mengatakan bahwa arca-arca tersebut dibawa ke Museum Leiden sana.
Dan yang paling menarik dari arsitektur candi ini adalah reliefnya yang menceritakan Garudeya. Dimana dalam kisah tersebut terdapat garuda yang membebaskan ibunya dari kesengsaraan dengan air kehidupan. Relief ini di perkirakan merupakan salah satu permintaan dari Anusapati yang ingin mendoakan Ken Dedes yang merupakan ibu kandung dari Anusapati. Cerita Garudeya ini bisa anda lihat di bagian kaki candi dengan membaca dari selatan dan dilanjutkan dengan beralawanan dengan jarum jam atau biasa disebut teknik Prasawiya. Dibagian pertama relief seperti sedang menggendong ular, dan direlief kedua seekor garda dengan membawa kendi diatasanya. Dan di relief ketiga seekor garuda yang sedang menggedong wanita. Relirf tersebut sampai saat ini masih bisa dilihat di dinding candi kidal.

Fungsi Candi Kidal
Candi-candi di Jawa Timur biasanya digunakan sebagai tempat dharma atau kuburan dari seorang Raja. Hal ini juga bisa anda lihat di kitab Negarakertagama dimana Candi Kidal digunakan untuk mendharmakan Raja Anusapati, candi Jago digunakan untuk mendharmakan Raja Wisnuwardhana atau Ranggawuni, Candi Jawi dan Candi Singasari untuk mendharmakan Raja Kertanegara, Candi Ngenthos digunakan untuk mendharmakan Hayam Wuruk dan beberapa candi yang lain.
Namun, selain untuk mendoakan Anusapati, penggambaran relief Garudeya juga digunakan sebagai perawatan kepada ibunda sang Raja, yaitu Ken Dedes. Dimana Anusapati sangat menyanyangi ibunya yang selalu hidup dalam penderitaan. Dalam kepercayaan Jawa, ruwatan berfungsi agar raja yang diruwat kembali suci dan menjadi dewa.