Tari Bedhaya Ketawang dari Surakarta Jawa Tengah

Tari Bedhaya Ketawang dari Surakarta Jawa Tengah | Adatnusantara - Tari Bedhaya / Bedaya / Bedhoyo adalah termasuk dalam tarian klasik yang merupakan tari tradisional yang dikembangkan di keraton-keraton pewaris tahta kerajaan Mataram. Bedaya dapat diartikan secara gemulai dan meditatif, dengan iringan gamelan minimal di sebagian besar repertoarnya. Tarian bedhaya sering kali merupakan hasil inspirasi raja mengenai suatu peristiwa tertentu yang disajikan dalam bentuk yang sangat stilistik. Penari bedaya berjumlah sembilan untuk bedaya yang berasal dari Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, sementara untuk bedaya yang berasal dari Kadipaten Mangkunegaran dan Pakualaman berjumlah tujuh. Pada kesempatan ini, kita akan mengenal salah satu tarian bedhaya yang berasal dari Kasunanan Surakarta, yaitu tari Bedhaya Ketawang.




1. Tentang Tari Bedhaya Ketawang


Tarian Bedhaya Ketawang adalah pusaka Kasunanan Surakarta - Jawa Tengah, tari bedhaya ketawang ini ditarikan oleh sembilan penari putri setiap perayaan jumenengan dalem (wisuda / pelantikan) Sunan Surakarta. Konon tarian bedhaya ketawang ini  diciptakan oleh Sultan Agung. Durasi tarian ini sekitar satu setengah jam dan menceritakan tentang pertemuan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul serta perjanjian keduanya untuk saling menjaga kedua kerajaan.

2. Sejarah Tari Bedhaya Ketawang

Tidak ada catatan yang pasti mengenai asal usul tari Bedhaya Ketawang, yang pasti banyak sekali cerita dan mitos yang berkembang tentang terciptanya tarian Bedhaya Ketawang.

Salah satu mitos terciptanya Tari Bedhaya Ketawang ini bermula saat Sultan Agung Hanyakrakusuma (yang memerintah Kasultanan Mataram tahun 1613 - 1645) sedang melakukan semedi. Pada saat keheningan semedi tersebut, Sultan Agung mendengar tetembangan (senandung) dari langit (tawang).  Maka setelah selesai melakukan semedi, Sang Sultan memanggil 4 orang pengiringnya yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap. Pada keempat pengiring tersebut, Sultan Agung mengutarakan pengalaman batinnya. Dan bermaksud menciptakan tarian yang dinamakan Bedaya Ketawang.

Namun ada juga legenda terciptanya Tari Bedaya Ketawang versi lainnya. menurut kitab Wedhapradagna, tarian Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung (raja ketiga Kerajaan Mataram), dan Kanjeng Ratu Kidul diminta oleh Sultan untuk mengajarkan secara langsung gerakan tarian tersebut kepada para penari kesayangan Sultan. Pelajaran tari ini diselenggarakan setiap malan Anggara Kasih (selasa kliwon). Sampai saat inipun, para penari masih melakukan latihan pada hari tersebut.



Selain dua cerita diatas, masih ada cerita tentang asal usul tari Bedhaya Ketawang ini. Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta birahi Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati (raja pertama Kerajaan Mataram) segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh Raja-Raja Jawa yang Turun Temurun atau Raja-Raja Penerus. 

Namun terlepas dari asal usul adanya Tari Bedhaya Ketawang, pada akhirnya tari Bedhaya Ketawang diwariskan pada Kasunanan Surakarta. Hal ini terjadi setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dimana Pakubuwana III bersama Hamengkubuwana I melakukan pembagian harta warisan Kesultanan Mataram, yang sebagian menjadi milik Kasunanan Surakarta dan sebagian lainnya menjadi milik Kesultanan Yogyakarta. Termasuk pembagian warisan budaya yang menjadikan Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik istana Surakarta. Kemudian dalam perkembangannya sampai sekarang ini Tari Bedhaya Ketawang masih tetap dipertunjukkan saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan tahta Sunan Surakarta. 

3. Fungsi dan Makna Tari Bedaya Ketawang


Selain berfungsi sebagai sarana hiburan, Tari Bedhaya Ketawang memiliki fungsi dan makna khusus yang berhubungan dengan proses penciptaan tarian Bedhaya Ketawang itu sendiri.


Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan maka dipercaya Kangjeng Ratu Kidul akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari ke sepuluh. Dalam mitologi Jawa, sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa yang disebut dengan Nawasanga.

Versi lain menyebutkan bahwa jumlah penari yang sembilan orang merupakan lambang dari Sembilan Wali atau Wali Songo.

Pada tari Bedhaya Ketawang, sembilan penari nya memiliki nama dan fungsi masing-masing. Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya, yaitu:
  1. Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa.
  2. Penari ke dua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu.
  3. Penari ke tiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan.
  4. Penari ke empat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan.
  5. Penari ke lima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri.
  6. Penari ke enam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri.
  7. Penari ke tujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan.
  8. Penari ke delapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan.
  9. Penari ke sembilan disebut Buncit yang disimbolkan sebagai organ seksual. Penari ke sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang merupakan simbol tawang atau langit. 

4. Pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang


Tari Bedhaya Ketawang ditarikan oleh 9 orang penari. Namun penari bedhaya ketawang bukanlah penari sembarangan, sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya caos dhahar di Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta. Syarat selanjutnya yaitu suci secara batiniah. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran. Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kangjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.

Pada awalnya tari Bedhaya Ketawang dilakukan selama 2,5 jam. Namun sejak zaman Pakubuono X, tarian ini dilakukan dengan durasi 1,5 jam saja.

5. Musik Pengiring Tari Bedhaya Ketawang


Tari Bedhaya Ketawang yang berasal dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat  Solo - Jawa Tengah ini diiringi musik tradisional Jawa Tengah berupa Gamelan yang disebut dengan Gending Ketawang Gedhe. Gending Ketawang Gedhe ini bernada pelog. Perangkat gamelan yang digunakan untuk membawakan gending ketawang gedhe ini terdiri dari lima jenis, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak, yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending.

Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, laras (nada) gending berganti menjadi nada slendro selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke laras pelog hingga tarian berakhir. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan tembang Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan rebab, gender, gambang, dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.




6. Kostum Penari Bedhaya Ketawang



Busana adat atau kostum yang digunakan oleh para penari Bedhaya Ketawang adalah dodot ageng atau disebut juga basahan, yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan Jawa. Penari juga menggunakan gelung bokor mengkurep, yaitu gelungan yang berukuran lebih besar daripada gelungan gaya Yogyakarta,[4] serta berbagai aksesoris perhiasan yang terdiri atas centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha (rangkaian bunga melati yang dikenakan di gelungan yang memanjang hingga dada bagian kanan). Busana penari Bedhaya Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna hijau, menunjukkan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang menggambarkan kisah asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram.

Tari Bedhaya Ketawang Surakarta

 7. Video Tari Bedhaya Ketawang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Solo - Jawa Tenah


Untuk mengetahui keindahan seni tari Bedhaya Ketawang, berikut ini kami tampilkan cuplikan video Bedhaya Ketawang yang ditampilkan di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Solo - Jawa Tengah yang diupload oleh www.kratonpedia.com di situs youtube.com.


Demikian sobat Tradisi, Penjelasan mengenai Tari Klasik dari Jawa Tengah yang dikenal dengan nama Tari Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang ini merupakan salah satu kekayaan budaya khususnya dalam bidang seni tarian daerah Indonesia. Semoga bermanfaat

Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Bedaya_ketawang