tar Tari Didong dari Aceh

Tari Didong merupakan tari tradisional Aceh. Akan tetapi tarian ini sebenarnya adalah sebuah kesenian rakyat Gayo yang merupakan perpaduan unsur tari, vokal, dan sastra.

Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara adat yang diselenggarakan.

Pada Kesempatan ini kita akan mengenal mengenai seluk beluk kesenian dan tari didong ini, mulai dari sejarah tari didong, pertunjukan tari didong hingga perkembangan tarian khas Gayo Aceh ini.

Tari Didong


1. Sejarah Asal Usul dan Perkembangan Tari Didong


Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Salah seorang seniman yang peduli pada kesenian ini adalah Abdul Kadir To`et. Kesenian didong lebih digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah.

Sejarahnya, pada saat Reje Linge ke-13 memimpin, Didong merupakan media bagi penyebaran agama Islam melalui bait syair sekitar tahun 1511 atau sekitar abad ke-16 M. Para seniman Didong yang disebut dengan ‘Ceh Didong’ tidak sekedar melantunkan syair dengan nilai keindahan semata, melainkan di dalamnya memuat nilai positif yang bertujuan supaya masyarakat yang mendengarnya dapat menjalani kehidupan sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi dan tokoh ajaran Islam.

Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pe-didong harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan kesenian didong.

Penampilan didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan untuk mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana guna membangun gedung sekolah, madrasah, masjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti karena dilarang oleh DI/TII. Akibat dilarangnya didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip dengan didong. Perbedaan didong denga saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam saer.

Dewasa ini didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan). Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga menyengsarakan rakyat. Protes anti kekerasan sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.

Penari Didong Pada Zaman Penjajahan Belanda

2. Fungsi dan Makna Tari Didong

Kata “didong” memiliki pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Akan tetapi ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata “din” dan “dong”. “Din” berarti Agama dan “dong” berarti Dakwah.

Sedangkan fungsi Didong pada awalnya digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar Agama Islam.

3. Pertunjukan Didong Aceh

Satu kelompok kesenian didong biasanya terdiri dari para “ceh” dan anggota lainnya yang disebut dengan “penunung”. Jumlahnya dapat mencapai 30 orang, yang terdiri atas 4--5 orang ceh dan sisanya adalah penunung. Ceh adalah orang yang dituntut memiliki bakat yang komplet dan mempunyai kreativitas yang tinggi. Ia harus mampu menciptakan puisi-puisi dan mampu menyanyi. Penguasaan terhadap lagu-lagu juga diperlukan karena satu lagu belum tentu cocok dengan karya sastra yang berbeda. Anggota kelompok didong ini umumnya adalah laki-laki dewasa. Namun, dewasa ini ada juga yang anggotanya perempuan-perempuan dewasa. Selain itu, ada juga kelompok remaja. Malahan, ada juga kelompok didong remaja yang campur (laki-laki dan perempuan). Dalam kelompok campuran ini biasanya perempuan hanya terbatas sebagai seorang Céh.

Pementasan didong ditandai dengan penampilan dua kelompok (Didong Jalu) pada suatu arena pertandingan. Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi dengan tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Dalam hal ini para senimannya akan saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya. Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga berencana, pesan pemerintah (pada zaman Orba), keindahan alam maupun kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada, yang biasanya terdiri dari anggota masyarakat yang memahami ddidong ini secara mendalam

4. Musik Pengiring Didong

Peralatan yang dipergunakan pada mulanya bantal (tepukan bantal) dan tangan (tepukan tangan dari para pemainnya). Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menggunakan alat musik Aceh seperti seruling, harmonika, dan alat musik lainnya yang disisipi dengan gerak pengiring yang relatif sederhana, yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke samping.

Pertunjukan Tari Didong dari Aceh ini sering dipentaskan dalam berbagai acara seperti :
  • Acara penyambutan tamu daerah 
  • Festival adat budaya Takengon 
  • Kompetisi Kesenian didong antar desa atau antar sanggar yang ada di Takengon 
  • Mengisi acara di setiap instansi pemerintahan 
  • Pernikahan 
  • Hari besar Nasional 

Catatan : Kesenian didong lebih sering di pentaskan pada bulan Agustus pada setiap tahunnya dan waktu penyelenggaraannya dimalam hari sampai pukul 04.00 pagi waktu setempat .

5. Kostum Penari Didong

Kostum atau seragam dalam kesenian didong sendiri awalnya berwarna hitam , seragam ini sering disebut dengan baju – kelop . Dulunya Seragam didong ini dibedakan melalui warna dan memiliki arti yang berbeda - beda , warna Kuning berarti “Raja” , warna hitam “Rakyat” , warna merah “ Petuah ” , dan warna putih “Imam” , untuk saat ini seluruh warna yang digunakan seragam didong sudah mulai membaur dan bisa digunakan untuk setiap pentas atau acara didong , sedangkan biasanya para pemain didong memakai atribut tambahan berupa syal yang dililitkan di leher , dan ada yang memakai kopiah .