Budaya Nusantara Wayang Bharatayudha | Daftar Budaya Nusantara

Bharatayudha atau perang keluarga Bharata merupakan klimaks perseteruan antara Pandawa dan Kurawa. Pihak Kurawa yang sangat berambisi untuk berkuasa penuh atas Astinapura menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan saudara mereka, Pandawa. Setelah semua yang mereka rencanakan selalu gagal, kekesalan mereka semakin memuncak hingga akhirnya hari yang ditakdirkan tersebut tiba. Perang Bharatayudha terjadi di padang Kurusetra dan berlangsung selama 18 hari. Di Kurusetra ini, perebutan kekuasaan antara Pandawa dan Kurawa mencapai titik akhir.
Persiapan perang dimatangkan. Para sekutu dari kedua belah pihak telah berdatangan dan berkumpul. Strategi perang dipersiapkan. Pandawa membentuk 7 divisi dan Kurawa memiliki 11 divisi. Sebelum pertempuran dimulai, kedua belah pihak bertemu dan membuat peraturan-peraturan perang yang harus ditaati. Peraturan-peraturan yang berhasil dirumuskan diantaranya adalah

1.       Pertempuran dimulai setelah matahari terbit dan selesai saat matahari terbenam.
2.       Pertempuran satu lawan satu.
3.       Tidak boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri.
4.       Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata.
5.       Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar.
6.       Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak ikut berperang.
7.       Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang.
Meskipun aturan telah dibuat, tidak jarang kedua pihak melanggarnya. Semua dilakukan demi mendapatkan kemenangan.

Daftar Budaya Nusantara

Hari pertama pertempuran segera dimulai. Kurawa telah menetapkan Resi Bhisma sebagai panglima tertinggi didampingi oleh Pandita Dorna dan Prabu Salya. Sedangkan, Pandawa akan dipimpin oleh Resi Seta yang didampingi kedua adiknya Raden Utara dan Raden Arya Wratsangka. Para prajurit dan ksatria pilihan dari kedua pihak telah saling berhadapan di padang luas Kurusetra. Sekilas nampak sang Arjuna berdiri termangu, menatap ragu atas pandangan di depan matanya. Lunglai sekujur tubuhnya merasakan bahwa yang akan dia hadapi adalah saudara sendiri serta orang-orang yang selama ini dia hormati dan agung-agungkan. Sri Kresna tanggap waspada dengan keraguan yang menimpa Arjuna, didekatinya panengah Pandawa tersebut dan terjadilah percakapan antara keduanya. Banyak nasihat dan wejangan yang diberikan oleh Sri Kresna terhadap Arjuna(dikisahkan dalam Bhagawad Gita). Setelah menerima nasihat dan wejangan dari Sri Kresna, Arjuna nampak kuat dan tidak ragu lagi menghadapi pertempuran. 

Sementara itu, pertempuran telah berlangsung dengan sengit. Denting suara pedang beradu, teriakan kesakitan dari para prajurit memekakkan telinga. Pertempuran sengit terjadi antara Resi Bhisma melawan Resi Seta. Adu kesaktian antara keduanya berlangsung seimbang. Tidak ada prajurit yang berani mendekat akibat hawa panas yang dihasilkan dari pertarungan keduanya.
Ditempat lain, Resi Dorna menghadapi pangeran dari Wirata, Arya Wratsangka. Meski berbeda usia, Dorna yang kenyang pengalaman mampu mengatasi perlawanan anak muda Wirata. Dorna terus merangsek dan mendesak Arya Wratsangka. Dan ketika matahari mulai diatas kepala, Dorna menyudahi perlawanan Wratsangka dengan pusaka Cundamanik miliknya. “Wratsangka gugur…”teriak para prajurit Kurawa untuk membangkitkan semangat temannya. Mendengar teriakan tersebut, Raden Utara yang sedang bertempur melawan Prabu Salya mengamuk. Sabetan gada milik Utara meremukkan kereta Prabu Salya. Kuda beserta kusirnya, Patih Mandaraka Tuhayata ikut tewas tertebas gada Raden Utara. Arya Rukmarata berusaha melindungi ayahnya, Prabu Salya, dari gempuran Raden Utara. Tapi ini tidak berlangsung lama, Rukmarata tewas terkena panah Resi Seta yang menghindari peperangan melawan Bhisma.

Melihat putranya tewas, Prabu Salya marah. Dirapalnya ajian Candrabirawa pemberian Resi Bagaspati, sang mertua. Nampak raksasa bajang keluar dari tubuh Prabu Salya dan menyerang Utara. Raden Utara menebaskan gadanya, bukannya mati, raksasa itu malah berlipat ganda ketika ada bagian tubuh yang terluka akibat gada Utara. Jumlahnya semakin banyak, membuat Raden Utara kewalahan. Ketika lengah, Prabu Salya segera melepaskan panah Kyai Candrapati ke dada Utara. Raden Utara gugur.
Senja menjelang, dan hari pertama pertempuran berakhir ketika sangkakala dibunyikan. Padang Kurusetra penuh dengan bangkai prajurit dan bangkai binatang yang terkapar tak bernyawa. Para Kurawa bersorak dengan kemenangan yang mereka raih hari itu.
Malam beranjak larut ketika api pancaka yang membakar tubuh Arya Wratsangka dan Raden Utara mulai padam. Nampak para ksatria Pandawa sedang bersedih menyaksikan tubuh kedua pahlawannya habis terbakar api. Disudut yang lain, Resi Seta sedang termenung dengan dendam yang membara untuk menuntut balas atas kematian kedua adiknya. 

Surya perlahan menampakkan sinarnya, tanda hari baru telah menjelang. Para prajurit nampak telah siap tempur. Pihak Kurawa menempatkan Gardapati dan Wresaya sebagai pemimpin digaris depan menggantikan Prabu Salya dan Resi Dorna.  Sementara, dipihak Pandawa telah bersiap Bima dan Arjuna menggantikan Utara dan Wratsangka.
Resi Seta mengamuk, menghujani para prajurit Kurawa dengan panahnya. Dengan dendam yang terus terpelihara, Seta melepaskan anak panah sambil matanya mencari keberadaan Salya. Ketika terlihat, direntangnya busur dan anak panah menuju Salya, tapi sayang, anak panahnya hanya menyambar kereta perang Salya dan menjadi remuk. Melihat itu, Bhisma segera melepaskan panah ke Resi Seta, tapi tidak mempan. Seta semakin mengamuk, kali ini Dorna yang jadi sasaran. Mengetahui gurunya dalam bahaya, Duryudana segera menolong. Ditariknya Resi Dorna sehingga anak panah yang dilepaskan Seta mengenai Duryudana. Meski tidak terluka, tapi Duryudana mundur sambil meringis kesakitan. Salya dan Dorna kemudian dijauhkan dari medan pertempuran. Kembali Bhisma menghadapi Seta dengan segala amarahnya. Pertempuran berlangsung sengit dan seimbang. 

Pertempuran berhenti karena matahari telah meredup. Keesokan hari, pertempuran dimulai kembali. Di hari ketiga, pertempuran antara Bhisma dan Seta kembali terjadi. HIngga akhirnya Seta dapat mendesak Bhisma, hingga sang Resi terjatuh kedalam jurang. Resi Seta menunggu kemunculan Bhisma dibibir jurang tapi setelah sekian lama, Bhisma tak kunjung muncul. Dikisahkan, didasar jurang, Bhisma ternyata tidak tewas. Samar terdengar olehnya, suara perempuan. Dalam gaib, perempuan itu berkata bahwa dialah ibunya, Dewi Gangga. Singkat cerita, Bhisma dianugerahi pusaka sakti, panah Cucuk Dandang oleh Dewi Gangga. Seketika itu pula Bhisma sudah berada diatas jurang dan kembali ke medan pertempuran. Nampak olehnya Seta yang mengamuk dan menghabisi prajurit-prajurit Kurawa. Tanpa membuang waktu, dipanggilnya Seta untuk bertempur kembali dengannya. Resi Seta tampak terkejut dengan kemunculan Resi Bhisma. Bhisma segera merentang busur panahnya, kali ini anak panah Cucuk Dandang menjadi andalannya. Anak panah berbentuk paruh gagak hitam itu melesat dengan cepat menghujam dada sang Resi. Menggelegar tubuh sang Resi terkena anak panah, darah muncrat dari dada sang ksatria. Sorak sorai para Kurawa memecah kebisingan. Dursasana, Kartamarma, Durmagati, Sudirga, Sudira dan yang lain bersorak kegirangan seakan kemenangan sudah didepan mata. Sementara, para ksatria Pandawa mendekati Resi Seta yang sedang sekarat. Arjuna dengan lembut memangku kepala Resi Seta. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Resi Seta berkata,”Cucuku Pandawa, telah tuntas perjuanganku, teruslah berjuang karena kebenaran ada dipihakmu….” Resi Bhisma mendekat dan mohon maaf kepada Resi Seta dan para Pandawa. Tapi inilah pertarungan, selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Rakyat Wirata dan Prabu Matswapati tak dapat membedung duka. Mereka telah kehilangan tiga orang putra terbaiknya, Resi Seta, Raden Utara dan Raden Arya Wratsangka.
Malam tiba, para Pandawa dan Prabu Matswapati berkumpul member penghormatan terakhir kepada Resi Seta. Ditempat lain, para Kurawa berkumpul di pesanggrahan Bulupitu. Nampak kegembiraan terpancar dari wajah mereka. Gugurnya panglima Pandawa semakin menebalkan harapan akan hadirnya satu kemenangan. Hari-hari berikutnya menjadi hari yang tak kalah mencekam di tegal Kurusetra. Setiap malam mengundang, ribuan burung bangkai dan lolongan serigala membuat merinding sekujur tubuh. Tak henti mereka berpesta dengan ribuan tubuh tak bernyawa. 

Bhisma Gugur
Hari baru telah tiba, Kurawa telah menyiapkan tiga panglimanya, Resi Bhisma, Prabu Salya dan Resi Dorna. Dipihak Pandawa, Sri Kresna telah menyiapkan Drestajumna, putra Prabu Drupada sebagai senapati utama, dibantu Bima dan Arjuna. Sri Kresna juga telah menyiapkan Wara Srikandi di barisan tengah. Kakak Drestajumna ini sengaja disiapkan untuk menghadapi sang Dewabrata(Bhisma). Sesuai dengan kutukan Dewi Amba pada Dewabrata, bahwa kelak kau akan menemui ajal ditangan seorang wanita.

Pertempuran besar berkobar dengan sengit. Arjuna menghujani para prajurit Kurawa dengan panah-panahnya. Bima mengamuk dengan gada Rujak Polonya, dibantu Raden Setyaki dengan gada Wesi Kuningnya memporak porandakan formasi Garuda yang dibentuk prajurit Astina. Tak terhitung jumlah korban amukan Bima dan Setyaki. Duryudana geram melihat adik-adiknya, Citrawarman, Durmuka, Kanabayu, Subahu, Jayawikatha dan lainnya menjadi korban amukan kedua satria Amarta tersebut. Bubarlah sayap kiri Astina yang dikomandoi Prabu Salya, Resi Krepa, Kartamarma, Jayadrata dan Adipati Karna ini. Datanglah Resi Bhisma membantu, Sri Kresna tak mau menunda waktu lagi. Dipanggilnya Dewi Wara Srikandi untuk mendekat. Diutuslah Srikandi maju kemedan laga untuk menghentikan amukan Bhisma. Srikandi naik ke kereta perang, sang suami, Arjuna, menjadi kusirnya. Resi Bhisma tersenyum melihat kehadiran Srikandi dihadapannya. Nampaklah oleh mata batinnya, Dewi Amba telah menyatu dianak panah Srikandi, Sarotama. “Sudah tiba takdirku untuk bertemu dengan cinta sejatiku, Dewi Amba,” demikian batin Bhisma. Sang Dewabrata nampak menutup mata, terbayanglah semua ingatan masa lalu bagaikan gambar yang diputar ulang, bingkai demi bingkai. Ketika sang Bhisma membuka mata kembali, nampak Srikandi dengan senyum seperti Dewi Amba telah berada dekat dengannya. 

Bhisma seakan melihat Dewi Amba dihadapannya, ini membuat sang resi menjadi lemah. Melesat anak panah Sarotama dari busurnya, Resi Bhisma pasrah dengan takdir yang telah dinantinya. Panah Sarotama menembus dada sang Dewabrata dan menembus jantungnya. Sang Resi ambruk seketika di padang Kurusetra. Perang seketika berhenti, Prabu Duryudana beserta keluarga Kurawa dan juga Prabu Yudistira beserta keluarga Pandawa berlari menyongsong tubuh sang senapati utama yang rebah ditanah merah yang basah oleh darah. Sejenak mereka melupakan permusuhan abadi selama ini. Mereka berkumpul menghadap sesepuh mereka. Dengan tersengal Bhisma berkata,”Teruskanlah pertempuran ini untuk membuktikan pendapat siapa yang benar. Kalian berdua ada dijalan masing-masing. “ Mendengar ucapan itu, kedua raja tersebut segera mendekap Resi Bhisma yang juga merupakan eyang mereka. “Tolong ambilkan bantal, aku ingin berbaring,” ucap Bhisma. Duryudana segera menyuruh Dursasana untuk mengambilkan bantal. Segera Dursasana pergi dan kembali membawa bantal putih bersih. Bhisma nampak kecewa dengan apa yang dibawa Dursasana sambil berkata,”Bukan itu yang kumau, aku ingin bantal layaknya seorang ksatria.” Segera Arjuna melompat dan menghujamkan beberapa anak panah ke tanah agar kepala sang eyang bisa bersandar. “Nah, inilah bantal ksatria yang ku inginkan,”kata Bhisma. Duryudana nampak kesal setelah pemberiannya ditolak oleh sang eyang, segera ia memerintahkan adik-adiknya untuk pergi kembali ke barak masing-masing. Resi Bhisma dengan segala ketakwaannya memohon kepada Hyang Wenang agar diberi waktu hingga akhir peperangan. Bhisma ingin melihat kehancuran Kurawa dengan segala perilaku buruknya. Keinginan ini terpenuhi.

Picture
Resi Bhisma Gugur
Picture
Setelah selesai, Pandawa berkumpul di pesanggrahan Randuwatangan untuk menyiapkan strategi perang esok hari. Para Kurawa tak mau ketinggalan, dipesanggrahan Bulupitu, Resi Dorna meracik strategi sepeninggal Resi Bhisma. Dorna akan menggelar strategi Cakrabyuha untuk membongkar strategi Garuda Nglayang yang diterapkan Pandawa.

Abimanyu Gugur
Keesokan hari, pertempuran kembali dilangsungkan. Dorna, Salya dan Adipati Karna memimpin dibantu Resi Krepa, Jayadrata, Kartamarma, Aswatama, Bogadenta dan Dursasana. Di pihak Pandawa ada Drestajumna, Bima dan Arjuna dibantu pasangan bapak-anak, Raden Gatotkaca dan Raden Sasikirana, Raden Setyaki dan Raden Sanga-Sanga serta dibantu pula oleh Raden Pancawala, putra Prabu Yudistira. Pasukan Pandawa mengamuk dan memporak porandakan pertahanan Kurawa. Mengetahui hal ini, Resi Dorna memerintahkan Gardapati untuk membawa Bima menyingkir dan bertempur di tempat lain dan Wresaya membawa Arjuna jauh dari sayap kiri. Sepeninggal kedua sayap kanan dan kiri ini, pasukan Pandawa melemah, formasi Garuda Nglayang diobrak abrik dengan Cakrabhuya Astina. Melihat hal ini, Drestajumna murka dan bingung melihat kedua sayapnya ditinggal pemimpinnya. Dia kemudian meminta saran dari Sri Kresna, oleh Kresna, Drestajumna diminta untuk memanggil Abimanyu. Drestajumna meminta bantuan Gatotkaca untuk memanggil Abimanyu di Plangkawati. Setelah bertemu dan mengutarakan niatnya, Abimanyu dengan menaiki kudanya Kyai Pramugari berangkat menuju Kurusetra. Kyai Pramugari melesat kencang membawa sang majikan menuju medan perang. Dalam sekejab, sampailah dia di depan Sri Kresna. Berujarlah Sri Kresna kepada Abimanyu,”Anakku, aku minta bantuanmu saat ini, Pandawa sedang kocar-kacir.” Abimanyu menyanggupi permintaan Kresna dan menggelar strategi supit urang bersama Drestajumna, Gatotkaca, Setyaki dan Srikandi. Kresna menatap tak tega melihat Abimanyu pergi kemedan laga, karena dia tau, inilah pengabdian Abimanyu terakhir kepada Pandawa.

Perlahan tapi pasti, dengan strategi baru, Pandawa dapat mengatasi perlawanan Kurawa. Abimanyu mengamuk diatas kudanya bersenjatakan keris Pulanggeni. Hawa panas yang keluar dari keris itu menjatuhkan banyak korban. Citraksi, Citradirgantara, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga tewas di tangan Abimanyu. Seandainya Dursasana tidak melarikan diri, pasti akan jadi korban juga. Kini giliran Haswaketu dan Prabu Wrahatbala dari Kusala yang akan menjajal kesaktian Abimanyu. Tak butuh waktu lama, keduanya tewas terkena sabetan keris Pulanggeni. Dibelakang Abimanyu, Bambang Sumitra yang juga anak Arjuna semakin bersemangat dalam berperang. Adipati Karna yang melihat hal ini merasa geram, tetapi perasaan sebagai seorang paman turut menggelayut dihatinya. Kini dia harus berhadapan dengan keponakan sendiri. Teriakannya untuk mengusir kedua anak Arjuna tak digubris, maka melesatlah dua anak panah, Abimanyu dapat menghindar namun tidak bagi Bambang Sumitra. Gugurlah satu anak Arjuna di Bharatayudha. Disisi lain, Bambang Wilugangga yang juga anak Arjuna tewas di tangan Prabu Salya. Abimanyu semakin mengamuk melihat hal ini, kini giliran Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa menjadi korban Abimanyu. 

Resi Dorna kagum dengan kehebatan Abimanyu, untuk mencegah kekalahan yang lebih besar, Dorna memanggil Sengkuni, Adipati Karna dan Jayadrata untuk mencari cara mengatasi Abimanyu. Mereka merencanakan strategi licik yang jauh dari jiwa satria untuk menghentikan Abimanyu. Patih Harya Suman dari Astina mengibarkan bendera putih tanda menyerah dan semua prajurit menghentikan pertempurannya. Kemudian Adipati Karna mendekati Abimanyu kemudian memeluknya. Dari belakang, Jayadrata telah siap dengan anak panahnya. Abimanyu terduduk dengan darah mengucur dari punggungnya. Adipati Karna yang tak tega keponakannya terluka segera menghampiri Dorna dan kembali ke pesanggrahan. Dorna tersenyum melihat strateginya berhasil sementara Abimanyu marah telah diperlakukan secara licik. Dia bangun dan kembali menghajar pasukan Kurawa sejadi-jadinya. Banyak pasukan Kurawa yang menghujamkan panah, tombak dan senjata lainnya ke tubuh Abimanyu. Tubuhnya bagaikan landak karena dipenuhi anak panah dan tombak, tapi Abimanyu masih sanggup berperang. Kali ini didepannya telah berdiri putra mahkota Astinapura, Lesmana Mandrakumara, si putra manja yang tidak pernah berperang. Abimanyu dengan sisa tenaganya meladeni serangan Lesmana, dalam satu kesempatan, dengan tenaga terakhirnya, Abimanyu dapat menusukkan keris Pulanggeni ke tubuh Lesmana. Ambruklah keduanya di medan perang. Keduanya gugur. Mengetahui suaminya gugur, Siti Sundari segera menyusul ke medan laga, didepan jenazah Abimanyu, Siti Sundari melakukan bela pati dengan menusukkan belati ke dadanya. Kedua suami istri itu bergandengan tangan menghadap Hyang Wenang.

Sementara Bima dan Arjuna yang bertarung menjauh dari palagan tidak mengetahui kalau Abimanyu gugur. Gardapati dan Wresaya memiliki senjata yang apabila ditancapkan ke pasir, akan membuat pasir itu menyedot musuh untuk amblas kedalamnya. Demikian juga Bima dan Arjuna, kini tubuh keduanya tenggelam dalam pasir, semakin bergerak, semakin kencang pasir itu menghisapnya. Bima kemudian merapal ajian Blabag Pengantol dan dengan sekali hentak dia dapat keluar dari pasir dan menghujamkan gada Rujak Polonya ke kepala Gardapati.  Sekali tebas kepala Gardapati pecah. Arjuna tidak kurang akal, dibujuknya Wresaya untuk mendekat, dengan menggunakan tenaga lawan, Arjuna menarik Wresaya agar dia dapat melompat keluar. Pertempuran kembali terjadi dan Wresaya tewas terkena sabetan keris Kyai Kalanadah.

Setelah mampu mengalahkan musuhnya, Bima dan Arjuna pulang ke pesanggrahan dan mendapati duka yang teramat dalam. Melihat sang putra yang gugur membela pertiwi dan mendengar kelakuan licik Kurawa, Arjuna murka, kemudian berteriak dan bersumpah akan membunuh Jayadrata esok hari. Teriakannya terdengar sampai ke markas Kurawa. Api pancaka telah membakar tubuh Abimanyu dan Siti Sundari. Seluruh keluarga Pandawa masih terbawa duka yang mendalam. Suasana tidak jauh berbeda juga terjadi di pesanggrahan Bulupitu. Duryudana nampak terpukul dengan kematian sang putra mahkota Lesmana Mandrakumara. Jayadrata juga nampak gelisah mendengar sumpah Arjuna yang akan membunuhnya esok hari. Para Kurawa merundingkan strategi untuk membalas kekalahan hari ini. Perundingan berlangsung panas ketika Resi Krepa menyindir Adipati Karna yang kurang terlibat banyak pada pertempuran, menurut Krepa, Karna sungkan menghadapi saudara-saudara Pandawa. Karna yang marah karena sindiran Krepa seketika mencabut keris Kaladete dan menyambar leher Krepa. Seketika tewaslah Resi Krepa dengan leher terpisah dari badan. Mengetahui hal ini, Aswatama, putra Dorna berdiri menuntut bela pati atas meninggalnya sang paman, Resi Krepa. Aswatama menantang Karna di luar pesanggrahan. Perkelahian tidak berlanjut ketika Duryudana mengusir Aswatama untuk keluar dari pesanggrahan. 

Sepeninggal Aswatama, Dorna segera member perintah kepada Setyarata dan Setyawarman untuk menjadi pendampingnya sebagai senapati esok. Kertipeya diperintahkan untuk menghadapi Bima dan Bogadenta menghadang laju Arjuna agar tidak mendekati Jayadrata. Di pihak Pandawa, dengan formasi Garuda Nglayang, Drestajumna berada di depan, Bima di sayap kanan, Setyaki menggantikan Arjuna di sisi kiri dan Wara Srikandi berjaga di belakang.
Perang kembali berlangsung, Pandawa dengan gesit menghancurkan formasi Cakrabyuha milik Astina. Setyaki mengamuk disisi kiri dengan gada Wesi Kuningnya. Telah banyak ksatria Kurawa menjadi korban saat itu, Raden Durcala, Citrabahu, Upamandaka dan Citrawarman, semua tewas dengan kepala pecah akibat sambaran gada Wesi Kuning. Dibelakang, Srikandi mampu menyudahi perlawanan Ciringsakti. Dan Gatotkaca menghabisi Subasta, Suwarman dan Habayuda. Bima dibantu Danurwenda dan Sasikirana sang cucu, mengamuk disayap kanan. Kertipeya mati dengan kepala pecah terhantam gada Rujak Polonya. Setyarata dan Setyawarman mengeroyok Bima untuk menuntut balas. Dengan kesaktian yang melebihi keduanya, dengan mudah Bima menyudahi pertarungan. Dicengkalnya leher kedua Kurawa tersebut dan diadu kepalanya hingga pecah. Dorna yang melihat amukan Bima menjadi khawatir, dia memerintahkan Sengkuni untuk membawa Jayadrata pulang menemui ayahnya Begawan Sempani. Setelah diceritakan masalahnya oleh Sengkuni, Begawan Sempani segera mengambil alih, dia menantang Bima. Dengan kesaktiannya, Begawan Sempani membuat Jayadrata tiruan untuk menghadapi Bima. Tapi, sekali Bima menebas Jayadrata tiruan ini maka akan muncul Jayadrata lainnya, hingga berjumlah puluhan mengeroyok Bima. Bima mundur dengan ribuan tanda tanya besar. 

Sementara, ditempat lain, nampak Arjuna yang masih bersedih berjalan linglung tanpa tujuan. Arjuna masih menyesali kepergian Abimanyu. Terlebih jika dia mengingat istri kedua Abimanyu, Utari, sedang hamil tua. Jika dia tidak pergi jauh dari arena pertempuran, tentu dia dapat menolong Abimanyu, begitu pikir Arjuna. Dalam kondisi tidak stabil ini, Arjuna bertemu dengan Raden Wisamuka yang merupakan anak dari Jayadrata dan Dewi Dursilawati. Dengan cirri fisik yang mirip dengan Abimanyu, Arjuna menjadi hilang kewarasan. Dipeluknya Wisamuka sambil berkata,”Mari pulang anakku Abimanyu, Ibu dan istrimu telah lama menunggu.” Wisamuka berpikir, kapan lagi dia berjasa pada Astina jika tidak sekarang. Mumpung Arjuna sedang tidak waras, kupenggal saja lehernya dan kubawa ke tengah Kurusetra. Batara Narada yang terus mengawasi pertempuran, merasa ada jalan takdir yang akan dirubah oleh Wisamuka, maka Batara Narada mengutus sukma Abimanyu untuk menyadarkan Arjuna. Sukma Abimanyu menyapa Arjuna dengan halus, dikatakannya, “Ayah, iklaskan aku, aku telah bahagia di swargaloka. Didepanmu bukanlah aku, dihadapanmu berdiri anak uwa Jayadrata. Tuntaskan hutangmu sekarang.” Arjuna kaget dengan bisikan halus Abimanyu, segera dia sadar dan dia melihat Wisamuka telah menghunus kerisnya. Dengan sekali kelebat, dijambaknya rambut Wisamuka, tangannya ditelikung dan dibabat lehernya menggunakan keris pusaka. Wisamuka tewas. Tak terima junjungannya terbunuh, Patih Sindulaga segera menyerang Arjuna. Tanpa banyak kata, Arjuna segera melepaskan anak panah dan menembus jantung Sindulaga. Sang patih tewas menyusul majikannya. Melihat hal ini, Dewi Dursilawati sedih dan melakukan bela pati dengan menusukkan belati kecil yang dibawanya ke dada.
Melihat tubuh ketiganya menjadi mayat, Arjuna kembali bersedih. Perang telah membawa penderitaan dan membutuhkan pengorbanan yang sangat besar. Dalam kondisi yang linglung, Arjuna tidak sadar jika Prabu Bogadenta dengan adik seperguruannya, Dewi Murdaningrum telah mengintai. Menunggang gajah Murdaningkung, keduanya segera menyerang Arjuna. Arjuna kewalahan dan keteteran menghadapi Bogadenta, Murdaningrum dan gajah Murdaningkung. Ketiganya tampak saling mendukung. Dalam keadaan demikian, Sri Kresna hadir dan membuka mata batin Arjuna agar dapat berkonsentrasi menghadapi pertempuran. Kresna segera memerintahkan Arjuna untuk mengarahkan tiga anak panah secara langsung kepada ketiganya. Arjuna segera mematuhi perintah kakaknya. Melesat tiga anak panah secara berbarengan dan menembus kepala masing-masing. Tamatlah riwayat ksatria dari Turilaya.


Jayadrata Gugur


Arjuna segera kembali ke tengah pertempuran dan kaget melihat Bima kewalahan dan harus mundur menghadapi Jayadrata tiruan. Segera dia menghunus panah Neracabala. Setelah di lepaskan, anak panah ini langsung berubah menjadi ribuan anak panah yang membunuh para Jayadrata palsu. Kemudian Arjuna merapal ajian Guntur Wersa yang akan mendatangkan hujan dan banjir bandang, yang akan menyapu seluruh daratan Kurusetra didepan Arjuna. Begawan Sempani langsung mundur dan memerintahkan Jayadrata agar bersembunyi. Arjuna mengucap sumpah akan membunuh Jayadrata sebelum hari menjadi petang, apabila gagal, dia akan membakar diri di api pancaka. Sumpahnya didengar oleh semua yang ada di Kurusetra. Kresna bertanya,”Hari sudah sore, apa yang akan adik Arjuna lakukan untuk memenuhi sumpah?” Arjuna segera meminta bantuan Sri Kresna.
Kresna yang merupakan titisan Dewa Wisnu segera mengatur strategi, diperintahkan para Pandawa membakar api pancaka, dan meminta semua berganti pakaian serba putih layaknya orang yang akan berserah diri. Arjuna juga diminta untuk berpakaian putih sebagai tanda akan bakar diri. Setelah semua siap, Kresna melepaskan senjatanya Cakra ke langit. Seketika langit menjadi gelap, para Kurawa bersorak dan menunggu sumpah Arjuna untuk bakar diri. Semua berkumpul di sekitaran api pancaka, Arjuna juga telah naik ke atas seolah hendak melompat. Jayadrata yang sedang bersembunyi nampak penasaran, tanpa sadar, dia melangkah keluar dari persembunyiannya. Melihat Jayadrata keluar, tanpa ampun lagi, Arjuna segera melepaskan panah Pasopati. Jayadrata terkejut tapi sudah tak mampu menghindar, kepalanya putus. Segera langit kembali menjadi terang seiring kembalinya Cakra kepada pemiliknya. Bima yang sangat geram dengan Jayadrata segera menendang kepala Jayadrata hingga jatuh tepat didepan ayahnya, Begawan Sempani. Sang ayah memelas melihat kepala anaknya. Dengan kesaktiannya, dia turun k eke pertempuran untuk menuntut balas. Raden Gandawarya, Raden Gandakusuma dan Raden Prabukusuma tewas oleh Begawan Sempani. Arjuna murka melihat anaknya yang lain menjadi korban. Atas perintah Kresna, Arjuna segera merapal ajian untuk meminta hujan. Ini bukanlah satu kesulitan mengingat Arjuna merupakan titisan Dewa Indra, dewa hujan. Begawan Sempani ternyata memiliki kelemahan, bahwa dia tidak kuat dengan hujan dan cuaca dingin. Dengan siraman hujan terus menerus menerpa tubuhnya, lambat laun sang Begawan melemah dan akhirnya meninggal. 

Sekali lagi Kurawa menelan kekalahan. Hal ini membuat Duryudana marah. Diperintahnya Dorna untuk mencari dan menjemput Aswatama, dan untuk mengisi kekosongan sementara, dipilihlah Burisrawa mengganti posisi Dorna sebagai senapati. Mengetahui Burisrawa dijadikan senapati, Raden Setyaki memohon kepada Kresna untuk maju di bagian depan agar dapat menuntaskan dendam kepada Burisrawa. Kresna menyetujui. Esoknya, Burisrawa dan Setyaki bertemu ditengah lahan Kurusetra. Keduanya bertarung dengan sengit, sampai pertengahan hari belum nampak siapa yang unggul diantara keduanya. Hingga pada satu kesempatan, Burisrawa dapat memiting kepala Setyaki. Setyaki tak mampu melepas pitingan Burisrawa. Sri Kresna tak tega melihat adik iparnya dipiting Burisrawa. Dengan dalih menguji pemusatan pikiran Arjuna, Kresna meminta Arjuna untuk melepas panah Pasopati ke sehelai rambut yang dipegangnya. Arjuna tidak menyadari, bahwa jauh dibelakang rambut itu ada lengan Burisrawa. Anak panah melesat, rambut putus demikian juga lengan Burisrawa. Dengan kesakitan yang teramat sangat membuat pitingan Burisrawa kendor, secepat kilat Setyaki meloloskan diri dan menghantamkan gada Wesi Kuningnya ke kepala Burisrawa. Tak ayal, kepala Burisrawa pun pecah. Kematian Burisrawa menimbulkan dendam yang teramat sangat. Dursasana dan Prabu Salya hendak menuntut balas tapi ditahan oleh Duryudana. Hari telah sore, perang telah usai.

Gatotkaca Gugur
Meski hari beranjak malam, bukanlah Kurawa jika tidak berpikiran licik dan culas. Adipati Karna serta seluruh prajurit Awangga, melepas predikat ksatria dengan menyerang kubu Pandawa di malam hari. Tak ayal, mendapat serangan secara mendadak membuat Drestajumna, Srikandi dan Setyaki kewalahan. Hal ini sampai ke pesanggrahan Randuwatangan dan membuat Arjuna marah. Dia meminta izin Kresna untuk maju menghadapi Adipati Basukarna. Kresna melarang karena takdir mengatakan Pandawa akan kalah jika Arjuna tewas dengan senjata Kunta milik Karna. Maka dipanggilah Gatotkaca. Setelah diberikan wejangan dan pengertian dari Sri Kresna, Gatotkaca dengan bangga menerima perintah sebagai senapati utama melawan Karna. Inilah waktuku memberikan pengandian terbaik sepanjang umurku untuk Pandawa, pikir Gatotkaca. Setengah tidak tega, Bima melepas anaknya mengemban tugas prajurit, demikian juga sang paman Arjuna. Gatotkaca diperintahkan untuk memancing kemarahan Karna hingga teramat sangat, sampai akhirnya Karna mengeluarkan senjata Kunta. Senjata itu hanya dapat dipakai sekali. Gatotkaca berangkat menuju medan laga beserta seluruh prajurit Pringgodani. Patih Brajawikalpa, Brajalamatan dan yang lain ikut serta. Pertempuran sengit terjadi. Gatotkaca berkelebat dengan cepat kesana kemari hingga seperti berjumlah ribuan. Melihat anak buahnya banyak yang tewas karena terjangan Gatotkaca, Karna segera menghampiri. Karna menerapkan ajian Kalarupa, seketika ribuan raksasa keluar dari tubuhnya dan menyerang Gatotkaca. Merasa keteteran, Gatotkaca segera merapal ajian Narantaka, warisan Resi Seta. Kobaran api keluar dari telapa tangan Gatotkaca, ribuan raksasa itupun hancur.

Terkagum atas kesaktian satria Pringgondani, Karna segera menaiki kereta perangnya, Jatisura, yang dikusiri oleh Patih Hadimanggala. Adipati Basukarna telah menyiapkan Kunta Druwasa. Dilepaskannya panah Kunta ke angkasa. Tanpa Gatotkaca sadari, di panah Kunta telah bersemayam sang paman Kalabendana yang telah terbunuh olehnya tanpa sengaja. Sang paman tersenyum dan mengajak Gatotkaca untuk pulang menghadap Hyang Wenang. Gatotkaca pun berkata,”Paman, putramu iklas melepas segalanya, mari kita bersama menuju swargaloka. Tapi aku minta, dengan kematianku ini, aku ingin mendapat korban dipihak musuh sebanyak-banyaknya. Sang paman Kalabendana menyanggupi. Segera panah Kunta Druwasa menembus pusar Gatotkaca. Sang senapati menghadapi takdir dengan senyuman. Dia tahu bahwa senjata tersebut akan mencari sarungnya yang melekat dalam tubuhnya. Bersatunya senjata Kunta dengan sarung pusakanya membuat ledakan hebat diangkasa, seiring dengan itu, raga Raden Gatotkaca melesat tak terkira menimpa kereta Jatisura milik Karna. Sang adipati sanggup menghindar, tapi tak urung, Patih Hadimanggala, sang putra Warsakusuma dan ratusan prajurit lainnya tewas seketika kejatuhan raga Gatotkaca. Gatotkaca gugur.

Picture
Gatotkaca Gugur
Picture
Dursasana Gugur
Bima nampak gusar dan segera ingin mencari Adipati Karna yang menghilang, tapi ditahan oleh Kresna. Malam itu juga diadakan upacara penghormatan, semua Pandawa, tak ketinggalan Arimbi, ibu Gatotkaca dan Dewi Pergiwa, sang istri, ikut hadir. Bima tak dapat lagi menahan kesedihannya, hilang sudah semua putranya demi kejayaan Pandawa. Sebelum perang Bharatayudha berlangsung, kedua anaknya Antareja dan Antasena telah mengabdikan diri dengan melakukan bela pati. Takdir yang tertulis di kitab Jitapsara menyatakan, bahwa Pandawa tidak akan menang apabila Antasena, Antareja serta putra Arjuna, Bambang Wisanggeni, ikut serta dalam peperangan. Dengan ini, Kresna meminta kesediaan ketiga ksatria tersebut untuk menjadi tumbal kemenangan Pandawa. Ketiganya menyanggupi dan kemudian moksa. Kini, setelah Gatotkaca meninggal, tak ada lagi yang bisa dibanggakannya. Bima berjalan tak tentu arah. Matahari telah menampakkan sinarnya, perang telah kembali berkecamuk di Kurusetra. Bima terus melangkah, sampai akhirnya, ditengah perjalanan dia bertemu Dursasana. Berada jauh dari padang Kurusetra, Bima dan Dursasana pun bertarung. Bima berpikir, inilah saatnya menuntut balas akan sikap Dursasana kepada kakak iparnya, Drupadi. Dulu, Dursasana telah melecehkan Drupadi sehingga Drupadi bersumpah tidak akan menggelung rambutnya sebelum keramas dengan darah Dursasana sebagai bayaran atas rasa malu. Pertarungan sengit tak terelakkan. Dursasana kewalahan. Kresna yang sedari tadi mencari keberadaan Bima akhirnya menemuinya dalam keadaan bertarung dengan Dursasana. Dengan kesaktiannya, Kresna segera kembali ke pesanggrahan dan membawa Drupadi melihat pertempuran. Ini cara Kresna agar Dursasana lengah dan takut terhadap sumpah Drupadi saat itu. Melihat kehadiran Drupadi, Dursasana pucat pasi. Dengan sekali gerakan, Bima memuntir kepala Dursasana hingga terdengar gemeretak tulang patah. Tak hanya kepala, badan Dursasana juga dipuntir sampai tulang belulangnya patah. Tanpa belas kasihan lagi, Bima merobek badan Dursasana dan menampung darahnya dalam satu cawan. Tubuh Dursasana yang tak lagi berbentuk dilempar jauh-jauh hingga ke tengah medan Kurusetra. Cawan berisi darah Dursasana diserahkan kepada Drupadi untuk membayar sumpahnya. Dengan senang hati, Drupadi menerima pemberian Bima dan segera melunasi sumpahnya. 


Dorna Gugur
Malam hari, Dorna kembali ke pesanggrahan Bulupitu bersama Aswatama dan Sengkuni. Setelah merundingkan segala sesuatunya, Dorna berpesan kepada Aswatama agar tidak maju perang terlebih dahulu. Aswatama mengangguk mematuhi perintah ramandanya. Esok harinya, Sang Kumbayana atau Resi Dorna mengamuk di padang Kurusetra. Berbekal senjata Jayakunang dan ajian Laring Merak, senapati tua ini berkelebat kesana kemari menebar kematian. Melihat sepak terjang Dorna, Drestajumna segera meminta nasihat Kresna. Dan Kresna meminta Arjuna untuk melayani gurunya tersebut. Tetapi kali ini Dorna berhadapan dengan rekan seperguruannya, Prabu Drupada. Setelah bertarung cukup lama, Dorna mampu mengungguli Drupada. Keris Jayakunang menancap di dada mertua Yudistira tersebut. Sebelum menghemburkan nafas terakhir, Drupada berucap,”Aku mengaku kalah Kumbayana tapi ini tidak akan mengubah persahabatan kita. Aku akan menunggu waktu untuk kembali kea lam kelanggengan bersamamu. Waktu itu tidak akan lama.” Tertegun Dorna mendengar ucapan temannya. 

Setelah menewaskan Drupada, Dorna telah ditunggu oleh Arjuna. Setelah menghaturkan sembah dan Arjuna memohon maaf karena akan menghadapi sang guru Dorna. Mereka pun bertarung. Kesaktian yang seimbang, senjata yang sama-sama sakti membuat keduanya bertarung tanpa ada yang kalah atau menang. Hal ini membuat gusar Sri Kresna. Dipanggilnya Bima dan berpesan,”Majulah dan lawanlah Raja Malwapati, Prabu Permeya. Bunuhlah dia. Setelah itu, gajah tunggangannya yang bernama Asuratama harus pula kau bunuh. Dan sebarkan berita bahwa Aswatama telah mati. Ini yang dapat mengalahkan Dorna. Para Pandawa dan prajurit juga diminta oleh Kresna untuk menyebarkan berita bahwa Aswatama mati. Bima segera menjalankan titah kakaknya. Dalam perang tak seimbang, Prabu Permeya tewas. Segera Bima mengayunkan gada Rujak Polonya ke kepala gajah Asuratama dan berteriak bahwa Aswatama mati. Teriakan itu menggema di seantero Kurusetra. Dorna yang sedang bertarung segera menghentikan serangannya. Rasa tak percaya menghinggapi perasaannya. Tampak olehnya, si kembar Nakula Sadewa sedang bertarung. Dorna bertanya pada keduanya,”Benarkah anakku Aswatama gugur?”. Nakula dan Sadewa menjawab benar.  Dorna belum percaya, bergegas dia mencari Yudistira yang selama ini tidak pernah berbohong. Ketika bertemu, Dorna menanyakan hal yang sama pada Yudistira. Teringat pesan dari Kresna tetapi dengan hati yang tak tega, Yudistira menjawab,”Benar, Asuratama mati.” Tetapi Yudistira mengucapkan nama itu dengan perlahan, dia hanya memberikan penekanan pada kata Tama. Dorna salah mengira. Baginya, seorang Yudistira yang sepanjang hidupnya selalu berkata jujur telah mengungkapkan bahwa Aswatama mati. Resi Dorna segera terduduk dan termenung, lemah lunglai seluruh tubuh seakan tak lagi bertulang. Nampak dalam bayangannya, Prabu Drupada dan Palgunadi datang menjemput. Dorna benar-benar tak kuasa menahan kesedihan. Hal ini nampak oleh Drestajumna yang telah dirasuki arwah Palgunadi. Drestajumna melangkah mendekati Dorna yang bersandar di batu sambil menangis. Tak ada satu pun Kurawa yang menghalangi karena sibuk mencari keberadaan Aswatama yang sesungguhnya untuk dipertemukan dengan Dorna. Tanpa mengindahkan jiwa ksatria, Drestajumna berteriak akan menuntut balas kematian ayahnya, Prabu Drupada. Seketika itu pula, pedang Drestajumna menebas leher sang Dorna sampai putus dan menendang-nendang kepala itu sampai ke markas Kurawa. Setelah Dorna menemui ajal, seketika itu pula arwah Palgunadi hilang dari tubuh Drestajumna. Tinggal dia seorang diri menyesali perbuatannya yang jauh dari sikap ksatria, membunuh orang tua yang tak bersenjata dan tak berdaya. Kresna segera menghibur Drestajumna dengan mengatakan bahwa itu sudah digariskan oleh Hyang Wenang. 

Sengkuni yang melihat kelakuan Drestajumna kepada Dorna segera berlari mencari Aswatama. Ketika bertemu, diceritakanlah kejadian yang menimpa Dorna dengan ditambahi bumbu-bumbu penyedap. Aswatama marah mendengar orangtuanya diperlakukan tidak ksatria. Aswatama melompat dan turun ke medan laga mencari Drestajumna. Digengamnya keris Cundamanik dan mulai mengambil nyawa. Drestajumna yang sudah tersedot tenaganya merasa ngeri melihat amukan Aswatama dan mundur. Kresna yang mengetahui hal ini segera meminta Bima untuk menghadapi Aswatama. Segera keduanya bertarung, tapi kekuatan dan kesaktian Aswatama jauh dibawah Bima. Aswatamapun melarikan diri sambil bersumpah tidak akan mati sebelum menumpas seluruh putra Pancala dan anak turunnya yang telah membunuh orang tuanya.
Malam hari, Kurawa kembali berduka. Kematian Dursasana dan Resi Dorna merupakan pukulan telak bagi Prabu Duryudana. Dia merasa, sekarang saatnya dia untuk turun ke pertempuran. Tapi sang mertua, Prabu Salya menolak dan mengatakan bahwa masih ada ksatria lain yang sanggup menjadi senapati di Kurawa. Biarlah Adipati Karna yang menjadi senapati. Duryudana sependapat dan mengangkat Basukarna sebagai senapati perang dibantu Prabu Salya. Karna juga meminta kepada mertuanya, Prabu Salya untuk menjadi kusirnya ketika terjadi perang tanding antara dirinya dengan Arjuna. Karna yakin bahwa pihak Pandawa akan memilih Arjuna menjadi senapati menggantikan Drestajumna. Dan apabila, terjadi perang tanding, Kresna pasti akan menjadi kusir Arjuna. Prabu Salya menyanggupi permintaan menantunya. Sekedar diketahui, Duryudana dan Adipati Karna adalah menantu Prabu Salya. Duryudana memperistri Dewi Banowati sedangkan Adipati Karna mempersunting Dewi Surtikanti.

Karna Gugur
Keesokan hari, putra Yamawidura yang bernama Raden Sanjaya mencoba mendahului Arjuna dengan menantang Karna. Tapi tantangannya tak didengar, yang mendengar adalah putra kedua Adipati Karna yaitu Raden Wersasena. Pertempuran tak terelakkan. Keduanya sama sakti, tapi Raden Sanjaya lebih beruntung.Wersasena tewas ditangannya. Melihat hal ini, Karna marah bukan kepalang. Anak lelakinya tinggal satu, tewas pula. Segera dia meladeni tantangan Sanjaya. Adipati Karna bukanlah tandingan putra Yamawidura tersebut. Tak lama, keris Kyai Jalak menewaskan Raden Sanjaya. Setelah itu, Adipati Karna naik keatas kereta perangnya yang dikusiri Prabu Salya. Nampak dikejauhan kereta perang Jaladara yang dikusiri Sri Kresna mendekat sambil membawa panengah Pandawa, Raden Arjuna. Ketika keduanya bertemu, sontak semua prajurit menghentikan pertempuran. Suasana hening. Dua putra Kunti kini bertemu dan akan saling bertarung hingga ajal menjemput salah satunya. Arjuna turun dari keretanya dan menyembah kakaknya. Setelah menghaturkan sembah bekti, Arjuna mencoba membujuk kakaknya untuk tidak meneruskan bertarung dan bersama-sama membangun bersama Pandawa. Adipati Karna menolak dengan halus. “Ini adalah pengabdian atas apa yang telah diberikan Astinapura kepadaku,”ucap Karna. “Jika begitu, terimalah permohonan maafku. Bukan aku bermaksud lancang melawan saudara sendiri,”ujar Arjuna. Kembalilah mereka ke kereta masing-masing. 

Perang tanding tak lagi terelakkan. Dengan gagah, kedua putra Kunti itu saling bertarung. Hampir seharian mereka bertarung, hari telah beranjak sore. Hingga kemudian Kresna melihat kelengahan dalam diri Karna dan Prabu Salya. Kresna memerintahkan Arjuna untuk melepaskan panah Pasopati ke leher Karna. Arjuna menurut, sambil memejamkan mata karena tak tega, Arjuna melepaskan panah yang memiliki ujung seperti bulan sabit itu. Karena tajamnya Pasopati, Adipati Karna langsung tewas dan terduduk dikereta. Senyum tersungging dibibirnya, seakan tidak menyesali keputusannya membela Kurawa. Kidung layu turun disertai rintik hujan menyertai kepergian Adipati Basukarna. Segenap keluarga Pandawa berkumpul, member penghormatan terakhir kepada saudara sulung mereka. Mereka terlahir dari ibu yang sama meski memilih jalan yang berbeda. Mengetahui menantunya gugur, Prabu Salya turun dari kereta, lari kembali ke pesanggrahan Bulupitu. Sore setelah Adipati Karna gugur, mendung gelap serta hujan yang turun membasahi Kurusetra seakan menahbiskan suasana hati para Kurawa. Kini jumlah mereka dapat dihitung dengan jari. Para Kurawa yang berjumlah seratus, kini hanya tinggal sepuluh. Termasuk Duryudana dan Raden Kartamarma. Sesungguhnya Bharatyudha telah berakhir, tapi Duryudana enggan mengaku kalah.
Kini tak ada lagi yang bisa diandalkan oleh Duryudana. Dalam siding di pesanggrahan Bulupitu, Patih Sengkuni terang-terangan menyindir Prabu Salya yang tak mau turun gelanggang lagi. Bahkan diperparah dengan ucapan Aswatama yang memojokkan Prabu Salya atas meninggalnya Adipati Karna. Ucapan Aswatama yang tidak ada sopan santunnya membuat Salya marah dan Duryudana mengusir Aswatama keluar dari pesanggrahan. Akhirnya diputuskan, Prabu Salya menjadi senapati tertinggi di Kurawa. 

Gundah perasaan para Pandawa mengetahui Prabu Salya diangkat menjadi senapati tertinggi. Terutama sekali si kembar Nakula dan Sadewa. Ini berarti mereka haru berhadapan dengan sang uwa. Prabu Salya merupakan kakak dari Dewi Madrim, ibu Nakula dan Sadewa. Kresna paham benar dengan situasi ini, dengan bijak Kresna meminta agar Nakula dan Sadewa pergi menemui Prabu Salya dan memohon kemudahan bagi Pandawa. Dengan berat hati si kembar pergi menemui Salya. Ketika bertemu, Prabu Salya telah memahami maksud kedatangan keponakannya tersebut. Dengan penuh kasih, Salya berucap,”Aku merestui segala tindakan Pandawa, aku juga menginginkan kemenangan di pihak Pandawa. Aku membela Kurawa karena putri-putriku yang menjadi istri Duryudana dan Adipati Karna. Ketahuilah, tidak akan ada yang sanggup menandingi kekuatan ajian Candrabhirawa. Ilmu ini hanya sanggup dikalahkan oleh seseorang yang memiliki jiwa yang suci. Katakan itu pada Sri Kresna, beliau faham apa maksudnya.” Setelah berkata demikian, Salya meminta kedua keponakannya untuk segera pulang karena hari akan terang dan perang akan segera dimulai. Nakula dan Sadewa undur diri.

Prabu Salya Gugur
Nakula dan Sadewa kembali ke pesanggrahan dan disambut oleh Sri Kresna. Setelah mereka mengutarakan apa yang dikatakan oleh Prabu Salya, Kresna segera menunjuk Yudistira untuk menjadi senapati utama dan dibantu oleh Nakula dan Sadewa. Sementara Bima dan Arjuna akan berjaga dibelakang. Yudistira bimbang menerima perintah, Kresna segera meyakinkan bahwa inilah takdir sang Dewata yang tak dapat diubah. Majulah Yudistira ke medan perang. Ditengah Kurusetra nampak Prabu Salya mengamuk sejadi-jadinya, banyak prajurit Pandawa yang menjadi korban. Ketika dia melihat kedatangan Yudistira dengan kuda putihnya bersama dengan Nakula dan Sadewa, Salya tersenyum dan sadar bahwa ajalnya telah dekat. Segera Salya merapal ajian Candrabhirawa. Seketika itu pula keluarlah mahkluk bajang berwujud raksasa. Salya memerintahkan untuk segera menyerang Yudistira. Raksasa ini menyerang, dan setiap terkena senjata dari Nakula, Sadewa, Bima dan Arjuna, raksasa ini membelah diri dan berjumlah semakin banyak. Pandawa kewalahan, Kresna segera berteriak agar Pandawa diam dan menyingkir, tidak melakukan perlawanan. Perintah ini dituruti dan anehnya, raksasa inipun diam, tidak menyerang Pandawa. Semakin lama, jumlahnya semakin sedikit, menyatu kembali dalam ujud semula. Kejadian menjadi semakin aneh ketika raksasa itu kemudian pergi menghampiri Yudistira dan merasuk ke dalam sukmanya. Melihat hal ini, Prabu Salya terdiam. Segera Yudistira mengambil pusaka Jamus Kalimasadha. Dia kuatkan hatinya, mencoba menghilangkan keraguan. Ketika telah tetap hatinya, segera ia lepaskan pusakanya menuju Prabu Salya. Pusaka itupun menancap didadanya. Prabu Salya gugur. Tak lama berselang, datanglah Dewi Setyawati melakukan bela pati dengan menusukkan keris kedadanya, menyusul suami tercinta pulang ke swargaloka. 

Sengkuni Gugur
Yudistira segera memerintahkan para prajurit Pandawa untuk mundur, karena baginya, sudah tidak ada lagi yang harus diteruskan. Kurawa telah habis, menyisakan Patih Sengkuni, Duryudana dan beberapa orang prajurit. Sebelum bisa mundur, Sengkuni telah mengamuk, mengobrak-abrik para prajurit Pandawa yang tersisa. Amukan Sengkuni terlihat jelas oleh Kresna dan Bima. Sengkuni sesungguhnya adalah manusia yang kebal terhadap segala macam senjata, karena ketika terjadi perebutan cupu Cundamanik dan minyak Tala antara dirinya dan Dorna membuat minyak Tala itu jatuh dan berceceran. Sengkuni segera berguling-guling untuk membasuh tubuhnya dengan minyak tersebut. Tapi ada satu bagian yang terlewat, yaitu duburnya. Kresna mewanti-wanti Bima akan hal ini. Segera Bima melompat, menghadang gerakan Sengkuni. Dengan sekali kelebat, leher Sengkuni terpegang oleh Bima. Segera diangkatnya kepala Sengkuni sampai salah satu kakinya naik. Tanpa pikir panjang, ditancapkannya kuku pusaka Pancanaka ke dubur Sengkuni. Sang patih pun menjerit mengiringi kematiannya. Tak cukup sampai disitu, Bima segera menguliti Sengkuni untuk memenuhi sumpah Dewi Kunti ibunya. Ketika itu, Sengkuni melecehkan Kunti sampai kembennya melorot dan menjadi tertawaan para Kurawa. Saat itu, Kunti bersumpah tidak akan berkemben sebelum menggunakan kemben yang terbuat dari kulit Sengkuni. Kulit Sengkuni ini diserahkan Bima kepada ibunya untuk mewisuda sumpahnya.
Malam hari, Pandawa berkumpul di pesanggrahan. Meski kemenangan telah diraih tapi ini tidak membuat wajah mereka berseri kegirangan. Karena kemenangan ini mereka raih diatas darah saudara-saudara mereka sendiri. Tinggal satu Kurawa tersisa, Prabu Duryudana. Dan satu lagi yang sekarang entah berada dimana, yaitu Aswatama. Kresna meminta bantuan kakaknya Prabu Baladewa untuk mencari keberadaan Duryudana dan merayu agar menyudahi peperangan. Singkat cerita, Duryudana memang berwatak keras dan tak mau dikalahkan. Dia tetap tidak mau menyerahkan Astina pada Pandawa. Dia berfikiran, semua saudaranya telah mati, jadi untuk apa hidup. Duryudana meminta kepada Baladewa agar diadakan tanding melawan Pandawa yang memiliki kekuatan dan tubuh seimbang dengannya, yaitu Bima. Dan saat perang tanding dimulai, dia meminta Baladewa dan Kresna menjadi saksi. 

Duryudana Gugur
Segera semua dipersiapkan untuk memulai perang tanding. Duryudana telah siap dengan busana prajuritnya, demikian pula Bima. Mereka berdua telah bersiap dengan senjata gada di tangannya. Duryudana menyerang, perang tanding berlangsung sengit. Pertarungan telah berlangsung lama, hari telah menjelang gelap. Tidak nampak siapa yang akan menang saat itu. Kresna yang mengawasi sedari tadi segera member isyarat kepada Bima. Kresna menepuk-nepuk paha kirinya, sekilas Bima melihat isyarat itu dan langsung mengerti. Semasa bayi, Duryudana pernah dimandikan dengan air suci yang akan memberinya kekebalan, tetapi paha kiri Duryudana saat itu tertutup daun sehingga paha itu tidak terkena air suci. Itulah letak kelemahan Duryudana. Segera Bima menghantamkan gada Rujak Polonya dengan sekuat tenaga ke titik lemah Duryudana. Dengan jeritan yang agak tertahan, Duryudana roboh. Dalam keadaan tidak berdaya, Bima terus menggempur paha kiri Duryudana sampai remuk. Melihat hal ini, Prabu Baladewa marah dan menantang Bima. Kresna segera bangkit dan menghampiri kakaknya. Kresna segera mengatakan bahwa semua ini adalah takdir yang telah tersurat, tak ada satupun yang dapat mengubahnya. Mendengar perkataan Kresna, amuk Baladewa menyurut. Duryudana telah sampai di penghujung nafas. Duryudana gugur. Mengetahui kematian Duryudana, Kartamarma sebagai satu-satunya Kurawa yang masih hidup segera melarikan diri ke hutan.

Malam hari, Pandawa telah menyempurnakan kematian Duryudana dengan membakar jenazahnya. Para prajurit duduk dengan riang melihat pertempuran telah usai dan mereka menjadi pemenang. Setelah perang usai, kembalilah para Pandawa beserta Sri Kresna ke Astinapura. Kedatangan mereka disambut gembira oleh Dewi Kunti. Kemudian mereka bersama menghadap Prabu Drestarastra dan Dewi Gendari, orang tua para Kurawa. Pandawa memohon maaf karena para Kurawa tak tersisa dalam perang saudara tersebut. Prabu Drestarastra yang mengetahui cerita kematian Duryudana, anak yang sangat dikasihinya, segera bangkit dan mendekati Bima. Tanpa disadari Bima, uwanya, Prabu Drestarastra ternyata telah merapal ajian Kumbalageni, dimana apapun yang disentuhnya akan hangus dan hancur. Kresna paham hal ini dan segera menarik Bima. Tangan Drestarastra mengenai patung dan hancur seketika. Setelah amarah Drestarastra dapat diredakan oleh Kresna, Drestarastra mau menerima takdir bahwa anak-anaknya telah tewas. Tidak demikian dengan Gendari, ibu para Kurawa ini menyumpahi Kresna sebagai dalang perang. Gendari menyumpah bahwa nanti bangsa Yadawa atau keturunan Kresna semua akan binasa karena perang saudara. Kresna terperanjat mendengar sumpah Gendari. Keadaan jadi hening. Selang beberapa lama, para Pandawa pamit dan beristirahat di pakuwon. Sementara, Dewi Utari, istri Abimanyu telah melahirkan jabang bayi laki-laki yang diberi nama Parikesit. Kresna merasakan ada hal yang janggal pada malam itu dan meminta seluruh Pandawa untuk waspada.

Dikisahkan, Kartamarma yang melarikan diri ke hutan ternyata bertemu dengan Aswatama. Setelah menceritakan semua kejadian, mereka berdua merencanakan untuk membalas dendam dan kembali merebut Astina dari Pandawa. Singkat cerita, Aswatama dan Kartamarma berhasil memasuki wilayah Astina. Aswatama segera membaca mantra agar seluruh penghuni istana tertidur. Dengan mudah Aswatama memasuki lingkungan istana dan masuk ke pakuwon Pandawa. Di kamar pertama, dia melihat calon raja baru Astina, Pancawala dan pembunuh ayahnya, Drestajumna tertidur pulas. Tanpa ampun, digoroknya leher mereka berdua tanpa sempat menjerit sekalipun. Masih terbakar api dendam, Aswatama masuk ke kamar kedua, dilihatnya Dewi Srikandi tertidur. Dijambaknya rambut Srikandi dan dibentur-benturkan kepalanya hingga tewas. Aswatama kemudian melihat istri Arjuna yang lain, ada Wara Sembadra, Niken Larasati dan Sulastri. Semua dibunuh oleh Aswatama karena dendamnya terhadap Arjuna. Setelah itu, dia melihat Dewi Banowati. Istri Duryudana itu sangat dibencinya karena berselingkuh dengan Arjuna. Tanpa ampun, dibunuhnya Banowati dengan kejam. Wajahnya hancur.Tinggalah Parikesit, sang jabang bayi yang tertidur. Aswatama berpikir, bahwa bayi ini yang akan menjadi raja di Astina karena anak Yudistira telah dia bunuh, anak-anak Bima telah gugur semua. Ketika Aswatama hendak membunuh Parikesit, dengan pertolongan dewata, tiba-tiba keris Pulanggeni yang disimpan disamping jabang bayi tertendang oleh Parikesit dan menembus dada Aswatama. Aswatama tewas. Parikesit menangis keras, membangunkan semua yang ada di pakuwon itu.

Semua yang berada dipakuwon bangun, Pandawa dan Kresna berlari menuju kamar tempat Parikesit. Betapa kagetnya mereka mendapati semua penghuni kamar tewas dalam kondisi yang mengenaskan. Arjuna terduduk lunglai, Yudistira dan Drupadi tertegun melihat jasad anaknya Pancawala yang tanpa kepala. Kresna menyesali diri, kenapa dia tidak waspada. Bima segera keluar pakuwon, dan dilihatnya Kartamarma melarikan diri. Segera dihantamnya Kartamarma dengan gada Rujak Polonya. Kartamarma tewas dengan kepala pecah. Pandawa berduka.
Keesokan hari, setelah melakukan penghormatan terakhir kepada para keluarga yang tewas. Kresna meminta agar Yudistira segera menyiapkan pemerintahan baru di Astina. Diangkatlah Parikesit sebagai raja baru, karena masih kecil maka Yudistira menjadi walinya dengan gelar Prabu Kalimataya. Sadewa ditunjuk sebagai patihnya. Sedangkan Nakula menjabat raja di Mandaraka menggantikan uwanya, Prabu Salya. Bima tetap memerintah di Jodipati, wilayah Indraprasta dan Arjuna menjadi raja di Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.